Rabu, 19 Juni 2013

Pekerja Karya

"PekerjaKarya" dan Ketulusan yang Bodoh


Bagi seorang “PekerjaKarya” (begitu saya menyebutnya. red), rasa sakit adalah sebuah momen yang paling ditunggu untuk menghasilkan karya klasik penuh emosional dan empati dari kesederhanaan yang detil. Oleh karena itu PekerjaKarya cenderung “mencandu” rasa sakit tersebut untuk mendapatkan ketenangan yang absurb.

Sebagai manusia yang ‘sadar’ tentu kita tahu berbagai macam peristiwa emosional yang membuat tidak nyaman bahkan sangat tidak enak diingat dan mengganggu. Sebuah perasaan yang manusiawi dan umum kita kenal sebagai rasa sakit emosional. Terluka emosional pastinya membawa dampak yang tidak bisa dianggap ringan. Secara kesehatan gangguan psikis itu justru lebih berpotensi menurunkan daya tahan tubuh akibat depresi atau bahkan kematian (bunuh diri mungkin). Lalu orang bodoh macam apa yang justru berani menantang kemungkinan risiko buruk tersebut? Mungkinkah sang PekerjaKarya?

Sebelum mengulas tentang sosok yang saya sebut sebagai PekerjaKarya, sebaiknya kita ulas beberapa faktor penyebab rasa sakit itu. Dan tidak munafik atau bersikap sentimentil, saya menobatkan ”Faktor Cinta” sebagai Top List. Ketika berbicara cinta, saya berani bertaruh : ”Bahkan seorang Gengish Khan yang bengis pun rela berdandan serba pink ketika ia amat mendambakan seorang wanita yang ia cintai” sayangnya hal ini tidak bisa kita buktikan secara real. Yup, karena Sang Srigala Padang Pasir tersebut sudah lama wafat. Meski demikian, saya sangat yakin itu akan terjadi pada siapa pun. Artinya, setiap orang akan sangat sentimentil, norak, 4LaY, atau apapun sebutannya ketika fall in love. Sulit menerima? Terima sajalah, toh itu hal yang lumrah terjadi.

Untuk hal tadi, saya bebaskan teman-teman untuk mengambil contoh dari pengalaman teman-teman sendiri. Ketika mengingatnya pun saya berani menebak, teman-teman akan langsung senyum simpul, sumringah, atau tertawa geli sambil Ja-Im.

Kembali kepada si PekerjaKarya. Kita tarik sampel dari ’faktor cinta’ tadi. Setiap PekerjaKarya memiliki cara tersendiri untuk mengungkapkan perasaan tersebut. Caranya terkadang terkesan tidak lazim. Tidak umum. Bodoh. Sulit dimengerti, bahkan oleh orang yang dicintainya tersebut. Secara pribadi saya berhipotesa, bahwa apa yang dilakukan si PekerjaKarya itu adalah salah satu motif emosional untuk mempertahankan sesuatu yang sangat unverbal di hatinya: Rasa Sakit. Bukan sembarangan hipotesa, pernyataan tersebut berdasarkan beberapa proses simpatik dan empatik dari orang disekitar saya. Sebagian besar juga berdasar dari pengalaman saya yang ternyata punya dasar motif sama dengan orang lain. Pernyataan yang kasat memang, tapi hal ini bisa dimaklumi ketika teman-teman mulai me-flashback secara cermat pengalaman teman-teman lalu mulai mengambil sebuah superobjektif atau kesimpulan inti.

Pada sebuah perkara. Si PekerjaKarya akan sangat merasa terkurung dalam sebuah fase kritis yang akan membuatnya sulit membedakan antara kejadian nyata dan ilusi. Segalanya begitu ambigu dimatanya. Sebagai contoh dalam perkara ini adalah, si PekerjaKarya akan sulit membedakan antara Ketulusan dan Kutukan. Maksudnya?
Seseorang pernah berkata kepada saya, ”Ketika dia mendambakan seseorang, maka tidak ada alasan untuk tidak menyakiti dirinya sendiri. Menahan rindu tentu lebih mudah daripada mencoba untuk mengertinya.”
Kembali lagi, orang bego macam apa yang memang rela melakukan hal tersebut? Ada diantara kita yang rela menjadi pecundang untuk mempertahankan ketidakpastian?

Well, Impossible is nothing bagi si PekerjaKarya. Bagi seorang PekerjaKarya hal itu justru yang ia pertahankan. Anggap saja orang yang mengatakan hal tadi adalah salah satu seorang PekerjaKarya. Yang dengan lantang dan lugas menasehati saya seperti itu seolah itu hal klise yang bisa diterima oleh semua orang. Bagi dia mungkin, bagi kita?

Bagi seorang PekerjaKarya tidak ada yang salah ketika keadaan mengharuskan dirinya dianggap sebagai ‘pecundang’
“Hei, kita butuh satu orang pecundang untuk mendapatkan definisi pemenang. Jadi jangan remehkan pecundang!” hahaha… untuk pernyataan yang tadi jangan teman-teman tiru ya! Itu pernyataan dari seorang PekerjaKarya mabuk (stress) yang saya temui disebuah bus kota.

Lalu apa maksud dari semua pernyataan dan kutipan di atas?
Ketika semua proses itu terjadi, si PekerjaKarya berada pada sebuah ruang yang sangat tidak nyaman. Penuh beban. Rasa sakit. Dan di sinilah ia mulai membuat sebuah pembelaan diri dengan menciptakan beberapa karya sederhana (dalam bentuk apapun) sebagai sistem pengalihan. Jadi bisa dikatakan PekerjaKarya dan Pecundang merupakan kerabat dekat begitu pula Rasa Sakit dan Kepuasan Emosional seperti halnya gadis kembar yang akrab. Dan selalu ada kerja keras untuk hasil yang sempurna, atau setidaknya "layak".

Kembali lagi. Setiap individu punya cara yang unik untuk mempertahankan sesuatu yang sangat penting dalam hidupnya, begitupun saya dan anda. Bahkan realita kadang lebih tidak masuk akal dari seharunya. Seperti ketika kalian merelakan perbincaraan penting yang menyangkut kehidupan kalian kedepan hanya via telepon, karena tidak ada lagi waktu yang mengizinkan kalian untuk berbincang serius dengan orang yang bersangkutan walau hanya 5 menit saja. PekerjaKarya merupakan salah satu contoh abstrak yang memang agak sentimentil ketika memperbincangkannya.

Siapa bilang tidak ada yang abadi di dunia ini? Secara pribadi saya putuskan ”Ketulusan” adalah bentuk keabadian yang nyata selama paradigma kita tidak terusik oleh penyimpangan dalam bentuk perkembangan sistem.

Lagi-lagi tidak bermaksud untuk mengusik ketenangan sistem pemikiran teman-teman. Saya cuma membuka sedikit ruang yang mungkin lama tertutup. Terakhir. Selain oksigen yang diberikan Tuhan secara cuma-cuma kepada kita, masih banyak paket gratis yang ditawarkan Tuhan sebagai pengisi ruang kosong dalam hidup kita, salah satunya mimpi dan imajinasi. So, keep dreaming, guys! Karena mimpi merupakan salah satu faktor yang menentukan dan menguji kita dalam mengembangkan dan memperbaiki kualitas hidup. Tapi, jangan pula terlalu lama ngimpi, sesekali kita harus bangun untuk sekadar membersihkan iler yang berkerak di bantal. Ajukan ”proposal” terbaik kalian kepada Tuhan. Percayalah, akan jadi kebahagiaan lepas ketika Tuhan mulai menyetujuinya. Dan salah satu cara untuk menikmati hidup ini bukan justru melawannya tetapi cobalah untuk menerimanya. Tidak ada yang pernah bisa menggantikan nikmat Tuhan.

Bandar Lampung, November 2010 – Mei 2011.
Akbar (Adt) Adhitama


http://www.facebook.com/notes/akbar-adt/pekerjakarya-dan-ketulusan-yang-bodoh/214815701882163



Categories:

1 komentar: